Sunday 19 November 2017

Awal Mula

"Siapa kamu? Apa yang kamu lakukan di sini? Kau membuat ku takut."

"Berhenti bersikap kekanak-kanakan. Kau bukan lagi bayi mungil yang cengeng. Yang jika sesuatu terasa salah, kau akan menangis. Biasakanlah!!!"

96


Tidak seperti yang ia bayangkan, sekolah tidak seramah kala dia di taman kanak-kanak. Satu-satunya dari lingkungan tempat tinggalnya yang mendaftar di tempat itu, membuat semua terasa asing.

Pada awalnya, kehadiran ibu yang mengawasi, menjadi zona aman baginya. Begitu ibu pergi, keadaan pun memburuk.

Sulit beradaptasi, pemalu, caranya menjaga jarak dari mereka yang dianggap asing. Entah kenapa, semuanya asing. Mengisolasi diri baginya solusi yang terbaik. Pada akhirnya satu-satunya zona aman terakhir hanyalah rumah. Anggapannya.

Pengaruh lingkungan tinggal menambah pelik keadaan. Perhatian orang tua yang mulai beralih pada si bungsu. Teman bermain sibuk dengan lingkaran baru. Dia tidak tahu lagi arah yang harus dituju.

99


Hari itu penting. Belajar bersepeda tanpa roda bantu adalah prioritas utama. Namun bagi pemula, menyeimbangkan kemudi bukan perkara yang mudah. Apalagi medan yang penuh kerikil dan konturnya tidak rata. 

Langit menguji tekadnya. Setiap tetes air yang turun membuat tanah menjadi berlumpur dan licin. Jatuh bangun dan rasa sakit tidak seberapa. Selama ia bisa bersepeda bersama ayah dan adiknya keesokan hari.

Semangatnya menggebu. Meski diterpa angin dan tetes hujan yang makin menggila, semua terbayar pada waktunya.

Sambaran petir entah dimana menjadi sinyal untuk kembali. Tubuh yang kuyup dan penuh lumpur itu menuntun hadiah yang didapat dari pengorbanan diri. Tapi tiga jam yang ia lalui tidak berarti lagi.

Diletakkannya sepeda di teras dengan hati-hati. Dia ucap salam seraya memutar gagang pintu. Dan... Dalam satu sambaran, lengan kecilnya ditarik secara kasar. Tubuhnya terseret sepanjang rumah. Ketakutan dan ketidaktahuan sama besarnya. Ayah murka.

Tubuh kecil itu dilempar ke sudut kamar mandi yang gelap. Bergayung-gayung cidukkan air bak menyirami kepala hingga ujung kaki. Tidak lagi terdengar suara. Tidak tampak lagi apa yang ada di depan mata. Bernafas sama sulitnya dengan menahannya. Keributan di dalam dan luar tidak berbeda dengan keheningan yang biasa menemaninya terlelap.

Setelah siraman jasmani dan rohani berhenti, tinggallah dia terkunci di dalam seorang diri. Terisak dan menggigil. Entah kedinginan atau ketakutan. Tidak ada yang berbeda. Beberapa menit itu terasa hampa. Hingga ia terlelap dalam ringkukannya.

00


Di kamarnya yang gelap, dia kembali mengurung diri. Memeluk kedua kakinya di atas kasur menatap ke arah kaca. Memperhatikan proyeksi dirinya. Menatap dalam-dalam ke arah mata yang sembab karena tangis yang tak kunjung reda.

"Aku tidak bisa berbuat apa-apa."ucapnya lirih.

"Tidak. Tidak sekarang. Ada waktunya."

"Maksudmu?" Dia bertanya penasaran. Seolah melihat sebuah kemungkinan. Harapan untuk tidak lagi diam.

"Akan ku ajarkan kau caranya. Pada akhirnya kau akan tahu kau siap."

"Artinya kau akan tetap di sini? Bersama ku?"

07


Dia belajar. Kesabarannya terus diuji. Membentuk pribadi yang baru dan mandiri. Hingga tiba saat dia tidak lagi diam ketika dicaci. Tidak ada lagi yang boleh merendahkannya kini.

Sepulang dari sebuah pertemuan, ayah sudah dinanti. Bersama dengan sebatang balok panjang yang dipersiapkannya sejak senja berganti. Disana juga beberapa tetangga akan menjadi saksi. Tak gentar walau seorang diri. Yakin dengan yang selalu mengawasinya hingga kini.

Kraakk!! Batang panjang terbagi dua. Satu untuk ayah, satu untuknya. Dengan lantang terucap tantangan. Dimana malam ini, salah satu dari mereka harus mati. 

"Setidaknya aku tak perlu lagi mendengar keluhan busukmu itu."jalesnya penuh yakin.

Ayah tak bisa berkata. Entah malu atau haru menyesali tindakannya dulu yang tidak mampu ditarik lagi. Patahan batang kayu miliknya teronggok begitu saja di hadapannya. Belum lagi tetangga yang bingung harus berbuat apa. Mereka berusaha untuk tidak ikut campur dalam masalah keluarga. Teratur membubarkan diri.

Tak lama ibu menampakkan diri setelah menghadiri acara yang sama dengan ayah. Terkejut melihat kejadian tersebut. Melerai kedua laki-laki yang teramat penting baginya itu.

"Kamu!! Lihat!! Ini semua karena perbuatanmu. Masuk!! Pergi ke kamar!! Sekarang!!"bentak ibu kepada ayahnya yang terdiam seribu bahasa. Langsung menuruti apa yang diperintahkan, seperti kerbau yang dicocok hidungnya.

Setelah itu, dengan hati-hati ibu berjalan menghampiri. Mencoba menenangkan dari segala emosi yang membuat membutakan hati.

"Apa selama ini ibu peduli?"pikirnya.

"Ya. Ibu tidak pernah diam."

"Apa aku tidak perlu lagi melakukan ini?"lanjutnya.

"Tidak. Tidak pada keluarga sendiri. Malam ini sudah menjadi bukti."

"Lalu bagaimana denganmu? Apa kau akan pergi?"

...

Ibu menjelaskan segalanya. Alasan mengapa dia terus menderita. Walau sejujurnya ibu tidak pernah setuju. Karena khawatir dampak semua itu.

Riwayat kekerasan dalam keluarga menjadi rangkaian reaksi berantai. Yang terburuk, apa yang dihasilkan reaksi tersebut pada menjadi luka permanen. Dimana bekasnya akan terus terbawa seumur hidup.

Upayanya kini adalah memutus rangkaian reaksi rantai yang menjadi lingkaran setan di keluarganya tersebut. Bagaimana hasilnya? Semua tergantung pada dirinya. Dan aku.

- - - - - - - - - - - -

Bukan... Bukan... Ini penggambaran psikologi secara halus. Berbeda dengan cerita horor. Bahkan dalam cerita ini, aku masih mencoba menambah pengalaman di cerita anak. Meh... Jadi ingat komentar bang Grey.

Penokohan sendiri tidak terlalu banyak. Tanpa menggunakan nama. Lalu tahapan perkembangan situasi yang perlahan meningkat ke arah klimaks kemudian menurun. Dan sedikit penggambaran situasi latar dan suasana.

Rasanya masih jauh dari harapan. Kenapa ya? Mungkin karena aku masih menulis untuk diri ku sendiri. Untuk jadi bacaan sendiri pastinya.

Untuk penyampaian pesan sendiri, aku serahkan pada pembaca. Aku lebih senang belajar bersama daripada menggurui. Ambil saja yang baik. Buang yang buruknya. Kalau ada kembalian, lumayan buat bayar parkir.

1 comment:

  1. Bukan cerita horor!!! Vangke..
    Baru mau diedit udah dikomen duluan ternyata

    ReplyDelete