Sunday 26 November 2017

1000 Rupa

Jejak


Kayle telah berjalan sekitar 2 kilometer dari simpang tugu perdamaian. Ditemani Jacqueline, teman lamanya di perguruan tinggi dua tahun lalu. Selama tiga hari ini, Jacqueline mengajaknya berkeliling. Salah satunya mencicipi kuliner-kuliner terbaik di kotanya. Namun kemacetan malam itu, memaksa mereka menggunakan trotoar.

Menyadari sikap Kayle yang perlahan mulai tidak banyak bicara, Jacqueline kembali membuka topik pembicaraan agar teman lamanya itu tidak kecewa pada keadaan, atau dirinya.

"Apa kau ingat dosen kita Sir Erick, Kayle?"tanya Jacqueline memancing Kayle agar kembali bersuara.

"Tentu saja. Si hidung belang itu, bukan?"jawab Kayle setengah hati.

"Kau tahu, aku memergokinya bermain dengan daun muda lagi. Sepertinya dia masih belum jera dengan kasusnya bersama si jalang itu."jelas Jacqueline selalu tampak emosi setiap mengingatnya.

"Oh... Aku tidak terkejut sama sekali jika itu dia."balas Kayle singkat. Dia berusaha menjaga sisa tenaganya sebaik mungkin. Walau nyatanya dia kesal karena Jacqueline memanggil wanita yang pernah dan masih memiliki tempat di hatinya dengan sebutan jalang. Sadar telah mengucapkan sesuatu yang tidak seharusnya, Jacqueline mulai salah tingkah.

"Maafkan aku, Kayle. Bukan maksud ku membuatmu teringat lagi pada kejadian itu. Dan maaf aku sudah menyebutnya jalang." Jacqueline merasa bersalah. Dia merasa niat baiknya hanya menimbulkan masalah yang lain.

"Untuk apa kau meminta maaf? Apa yang kau katakan itu memang kenyataannya, bukan? Jangan terlihat menyedihkan seperti itu. Seperti bukan dirimu saja."lanjut Kayle menyemangati.

Jacqueline berpikir telah menyinggung perasaan Kayle. Walau sebenarnya Kayle tampak lebih tenang dari sebelumnya hanya karena dia tidak terbiasa berjalan kaki sejauh itu seumur hidup. Dia lelah.

"Lihat!!! Itu restoran yang kau katakan. Ayo Jacq!!!"sorak Kayle kembali bersemangat. Dia benci melihat Jaqcueline terus menerus murung hanya karena salah paham pada dirinya. Kayle pun memilih untuk berpura-pura bahwa semua tampak baik-baik saja.

Keringat


Suara putaran penghisap udara berdengung dengan halus. Bercak-bercak tar peninggalan asap tembakau bukti dari sebuah karya alami yang tak mampu lagi ia hindari. Dapur ini tidak bisa lari dari para perokok yang masif mencari beberapa mili nikotin dan cafein.

Goldwin terbuai imajinasi. Sebatang rokok yang ia nyalakan sedari tadi, setengahnya telah menjadi abu dengan sendiri. Kopi yang ia seduh kini sedingin cuaca di luar gedung. Keduanya terlupa karena pikiran, mungkin juga jiwa Goldwin, melayang entah kemana.

Sekejap kesadaran Goldwin kembali dari petualangannya. Hanya karena Wistle dan Lockhart juga berencana menghangatkan suasana. Tentu dengan beberapa batang rokok dan segelas kopi. Masih bergumul dengan topik pembicaraan mereka.

"Bukan masalah acaranya. Tapi destinasi kita nanti."bantah Lockhart tidak terima dengan keputusan direksi.

"Setidaknya perjalanan liburan ini dibiayai kantor, kawan. Nikmati saja. Toh di luar jam acara kita masih bisa bersenang-senang." Wistle kembali meyakinkan rekan kerjanya yang pemilih itu.

Goldwin tanpa sengaja menguping. Dari pembicaraan tersebut, tidak sedikit pun ia pahami. Sebagai salah satu staf tertinggi, harusnya segala informasi ia ketahui. Goldwin kini bertanya-tanya apa yang sedang terjadi.

"Ada apa Wistle, Lockhart? Perjalanan apa yang kalian maksud?"tanya Goldwin penasaran.

"Sir Goldwin!!!"ucap Wistle dan Lockhart serempak menyadari atasan mereka telah berada di dapur sedari tadi.

"Ayolah... Sudah ku katakan pada kalian agar memanggil nama ku saja. Tidak perlu ada embel-embel lain. Apa tampang ku ini seperti orang tua?"keluh Goldwin yang lelah menjelaskan perihal yang sama puluhan kali.

"Maaf... Maaf... Serius kau tidak mengetahuinya, Goldwin? Bukannya itu usulanmu?" Wistle cukup terkejut atasan langsungnya tidak mengetahui.

Lockhart sekilas memberikan isyarat pada Wistle agar menutup mulutnya dengan menjatuhkan sendok. Untungnya Wistle menyadari itu, sedangkan Goldwin sibuk bertanya-tanya pada diri sendiri mengapa dia tidak mengetahui hal tersebut.

...

"Kau pegawai yang baik, Goldwin. Sayangnya kami membutuhkan seorang manager yang tegas dan mampu mendisiplinkan para bawahan. Kau tahu bagaimana serikat pekerja menekan perusahaan belakangan ini? Intinya kami butuh orang yang mampu melaksanakan tugas ini. Floyd sudah dipertimbangkan untuk mengisi posisimu."

Goldwin tahu kemana arah pembicaraan ini. Dia tidak bisa menerimanya. Setelah semua pengorbanan itu. Goldwin dibuang begitu saja hanya demi pribadi otoriter yang gila menindas.

Sepersekian detik tangannya sudah meraih kerah baju lawan bicaranya, atasan departemen sumber daya manusia. Tanpa banyak kata, kepalan Goldwin merombak ulang posisi hidung atasannya yang mancung.

"Goldwin? Apa kau mendengar ku? Sebagai kompensasi atas pencapaianmu, kami harapkan surat pengunduran dirimu berada di meja ini setelah acara liburan nanti."

Goldwin pasrah. Apa yang ada di kepalanya, dia putuskan tetap di sana. Dia mengucapkan terima kasih dan meninggalkan ruang tempat sidang nasib karirnya ditentukan.

Hidup


Kayle Goldwin. Hidup untuk membahagiakan orang lain. Hingga lupa jati dirinya semasa kanak-kanak dulu. Seorang Kayle Goldwin kecil yang begitu lugu. Yang menikmati setiap jejak dan keringatnya tanpa mengenal waktu. Berpetualang mencari dunia yang baru.

Semua kepalsuan itu, hanya membunuh karakter terbaiknya. Membuat Kayle terseret di dalam arus sandiwara orang-orang dewasa. Meninggalkannya sendiri di apartemen yang tak ubahnya seperti penjara.

Kayle Goldwin gila. Seandainya Jean Jacqueline tidak menemuinya waktu itu. Dimana liburan perusahaan, lebih layak disebut penghinaan ketimbang penghargaan. Tapi Jacqueline memberi Kayle harapan. Sebentuk cinta dibalut perhatian.

Kayle memulai kembali semua dari awal. Tirai petualangannya baru saja kembali terbuka. Segala yang ia butuhkan telah siap bersama sebuah catatan. Yang sampul kulitnya bertuliskan "1000 Rupa".

Seribu rupa wajah-wajah baru yang ia dan Jacqueline nanti dalam petualangannya mengitari dunia. Mempelajari dan memahami cara hidup dan budaya yang menjadi rupa, identitas manusia. Terutama sebuah tanya tentang siapa Kayle Goldwin sebenarnya.

No comments:

Post a Comment