Sunday 17 December 2017

Merantai Getaran

Potongan yang melengkapi.


Nomaden. Tidak pernah berdiam dalam waktu lama di satu tempat. Seperti itulah kehidupan Freya. Bahkan sejak sebelum anak dari adiknya yang meninggal dalam kecelakaan itu berada dalam asuhannya. Kebiasaannya itu tetap bertahan meski kini dia berada di negara yang sama untuk waktu yang lebih lama.

Salah satu negara di kawasan Asia Tenggara yang memiliki banyak ragam suku dan budaya. Sebuah negara yang dia pikir cocok untuk membesarkan keponakannya, Colt,anak dari adiknya yang sejak kecil tak pernah bersuara. Yang harapannya, keragaman warna lingkungan negara itu mampu membuat Colt berbicara.

Kebiasaan Freya membuat Colt kesulitan mengikuti tahap tumbuh kembangnya. Adaptasinya terlalu lambat untuk mengikuti gerak langkah Freya. Wajar, tapi tidak Freya sadari. Karena dia sendiri memilih tidak berkeluarga. Dia tidak memiliki pengalaman membesarkan seorang anak manusia. Bekalnya datang dari kasih sayangnya terhadap mendiang adik, ibu Colt.

Keduanya tidak bisa berbuat banyak. Tapi mereka tahu untuk saling melengkapi satu sama lain.

Tahun ke 8 untuknya, tepat 9 tahun.


Colt tidak memiliki teman akibat seringnya dia dan bibinya berpindah tempat. Tidak ada yang membekas. Tidak ada yang tersisa dari tempat-tempat itu di hatinya. Hingga Colt memutuskan untuk membatasi lingkungannya. Terlebih dengan tidak adanya kata yang terucap. Kesunyian teman terbaiknya.

Ada satu hari, dimana Colt mengabaikan pesan Freya sebelum pergi bekerja agar dia tidak pergi terlalu jauh dari rumah. Colt beranjak ke sebuah menara air di sebuah masjid yang menarik perhatiannya sejak dia tiba di rumah barunya. Dengan polosnya dia memanjat hingga ke puncak. Tidak sadar bahwa di berada di luar batas yang sudah ditetapkan Freya.

Dari atas sana Colt menikmati pemandangan lingkungan rumahnya. Bahkan di arah selatan, ia bisa melihat rumah tempat dia dan Freya tinggal. Tak berapa lama ada yang mengalihkan perhatian Colt. Arahnya dari sebuah tanah kosong di timur masjid yang digunakan sebagai lapangan serbaguna oleh masyarakat sekitar. Seorang anak laki-laki yang ia rasa seumuran dengannya, sedang belajar mengendarai sepeda.

Cukup lama Colt memperhatikan anak itu. Hingga ia lupa bahwa langit tak secerah satu jam sebelumnya. Yang menyadarkannya hanya datangnya para jamaah yang hendak melaksanakan ibadah. Untuk sesaat Colt harus melupakan anak itu dan kembali pulang. Secepat mungkin dia turun dari menara itu sebelum menerima umpatan yang tidak dia mengerti. Colt tidak suka nada suara tinggi yang keluar dari mulut siapa pun.

Satu frekuensi bertemu.


Freya sedang menyaksikan penampilan Colt di sebuah pagelaran seni di alun-alun kota. Pada hari itu semua penggiat seni di kawasan itu maupun luar kota hadir menunjukkan kebolehannya. Menjadi hiburan bagi warga lokal dan juga wisatawan.

Setelah selesai memukau para penonton dengan alunan gesekan biolanya, Colt kembali mendekati Freya. Dengan sebuah gerakan tangan, dari jauh Freya mengatakan, "Sempurna". Colt tersenyum dan membalas dengan gerakan tangan yang berbeda. "Terima kasih."

Sebelum sampai di dekat Freya, ada seseorang menghampirinya. "Sungguh pertunjukan yang menakjubkan, kawan. Tak ku sangka ada orang asing yang juga mengisi acara seperti ini. Ku pikir hanya warga lokal yang tampil. Perkenalkan, nama ku Kayle."ucap seorang pemuda yang juga orang asing di tanah itu.

Colt tak bersuara. Bukan karena dia tidak suka dengan orang tak dikenal yang tiba-tiba berbicara terlalu banyak. Hanya saja dia tidak tahu harus seperti apa menghadapi situasi ini. Colt berada di alun-alun itu bersama dengan seniman lainnya dikarenakan sang bibi yang menyarankan relasinya agar mengikutsertakan keponakannya tersebut. Entah dihitung sebuah eksploitasi atau tidak, Colt tidak mau tahu dan tidak peduli.

Colt berterima kasih sekaligus meminta maaf atas keterbatasannya dengan isyarat tangan yang teratur. Barulah pemuda itu mengerti mengapa tak ada sepatah kata pun yang terucap dari mulutnya. "Ah... Maafkan atas kelancangan ku."balas pemuda itu dengan isyarat tangan juga.

Colt tidak mempermasalahkannya. Dia ingin segera menghampiri bibinya kembali. Sayang, pendapatnya tak sejalan dengan Freya yang dari jauh terlihat isyarat tangannya meminta Colt melanjutkan perbincangannya bersama pemuda itu. "Maaf kawan... Jika aku tidak mengganggu waktumu, bolehkah aku dan teman ku, Jacq, mewawancaraimu sebentar. Kami berdua sedang mendokumentasikan acara ini. Semua pengalaman perjalanan kami terangkum di situs berita wisata milik kami, 1000 Rupa."

Hening yang samar di ketinggian 12.000 kaki.


Di sebuah destinasi tempat para pendaki hingar bingar menyombongkan kemampuannya menaklukan alam, Colt memilih tempat dimana ada seseorang yang juga menjauh untuk menenangkan diri di sana. Colt terdiam memandang bentangan pemandangan yang begitu indah, menghiraukan orang itu dalam lamunannya. Tiba-tiba Colt teringat mendiang orang tuanya. Dan kejadian naas yang menimpa mereka di artikel tua milik Freya. Serta semua alasan yang membuatnya hingga seperti ini.

"Bukankah semua yang kita lalui tidak sebaik yang kita harapkan?" Kalimat yang terdengar di telinga Colt membuatnya memalingkan wajah ke arah orang yang ia hiraukan tadi. Samar. Tapi jelas datangnya dari orang di sampingnya itu. Colt berpikir bahwa itu hanya halusinasinya. Dia mungkin sudah terlalu lelah dengan pendakian ini.

Lalu semua mendadak sunyi. Sayup-sayup suara hanya seperti gelombang frekuensi yang tak beraturan tinggi rendahnya. Namun ketenangan yang ia rasakan saat itu adalah yang terbaik yang pernah ia dapatkan. Colt tenggelam. Dia larut dalam perasaan yang tengah ia hiraukan sekian lama sama seperti orang di sampingnya.

"Beban itu pada akhirnya membuat kita belajar. Bahwa selama perjalanan ini, satu-satunya cara adalah bersahabat dengannya. Menyatu sebagai satu kesatuan." Lagi. Colt mendengar kalimat itu merasuk jiwanya. Lebih dalam dari sebelumnya. Menenangkan. Menggenapi.

Colt terbawa kembali pada kejadian yang menewaskan ayah ibunya. Dimana suara yang ada, hanya rasa takut dan putus asa. Tapi tidak untuk ayah dan ibunya. Yang memeluknya tanpa suara. Tersenyum seolah-olah semua baik-baik saja. Tidak ada kata-kata yang menjadi wasiat untuknya. Sekedar nasehat untuk Colt kecil menjalani hidup.

"Hiduplah dengan kenyataan itu. Ibarat kerang yang hidup dilautan. Seperih apapun air garam, dia tetap menghadiahkan mutiara. Begitu juga dunia."

Colt kembali ke raga. Menatap jelas orang yang ia yakini sebagai asal datangnya semua suara yang masuk ke telinganya. "Seperti semua suara dalam kesunyian, yang samar namun dinantikan entah hadirnya kapan." Colt bersuara lirih, tapi lebih damai dari suara manapun yang pernah terdengar.

"Hah? Kau mengatakan sesuatu pada ku? Ku pikir kau tidak akan bersuara sekali pun selama pendakian ini."ucap orang di samping Colt. Terlihat kebingungan mengetahui Colt berbicara. "Apa ada yang salah dengan tenggorokanmu? Ini aku punya permen pelega tenggorokan."

Colt menerima pemberian orang itu. Menatap wajah orang itu, mengingatkan Colt pada seseorang. Seseorang yang pernah ia lihat dari sebuah menara air yang tinggi. "Apa aku mengenalmu? Wajahmu tampak tak asing."

No comments:

Post a Comment